Mari buka Mushaf masing-masing. Tepatnya pada Surah Shaad ayat: 29.

Allah azza wa jalla berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ (ص:٢٩)

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabbur ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

Jika seseorang ingin mendapatkan mutiara dari dasar lautan, tapi hanya berdiri di tepi pantai, menikmati pasir putih, nyanyian burung camar, debur ombak dan sepoinya angin tepi pantai, kira-kira kapan dia akan mendapatkan mutiara dan berapa banyak yang didapatnya? Tidak ada. Karenanya, dia harus menyelam dan membongkah batu-batu karang.

Seperti itulah orang yang membaca Al-Qur’an tapi tidak memahami isinya, menghafal tetapi miskin pemahaman. Ia harus menyelam membongkah batu-batu karang untuk memperoleh mutiara. Begitulah cara bertadabbur.

Lalur, apa itu tadabbur…?

Saat menafsirkan ayat di atas Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah memahami sedikit demi sedikit ayat-ayat tersebut, berfikir tentangnya, memperdalam pengamatan ke dalamnya sehingga memahami hidayah-hidayah yang dikandungnya.” (Adhwa’ul Bayan 6/344)

Perintah untuk mentadabburi Al-Qur’an juga ditegaskan di dalam firman-Nya:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Pada ayat ini, Allah menyifati hati yang jauh dari tadabbur sebagai hati yang terkunci.

Dahulu, kaum muslimin hanya memiliki satu kitab yaitu Al-Qur’an. Dengan satu kitab itu mereka menjadi umat yang disegani dunia. Prestasi itu diraih hanya kurang dari 40 tahun sejak risalah diturunkan.

Saat ini… Tak terhitung berapa kitab yang tersimpan di dalam khazanah keilmuan islam, namun kondisi mereka terpuruk. Sejak runtuhnya khilafah 93 tahun yang lalu, mereka seperti tak bisa bangkit, terpuruk dan tercabik-cabik bak hidangan di atas meja musuh.

Mengapa..?

Dahulu… Satu kitab itu benar-benar dijadikan pedoman. Pesan-pesan Al-Qur’an hidup di hati para sahabat dan tabi’in. Mereka berhasil menjadi penerjemah terbaik Al-Qur’an lewat amal-amal mereka.

Adapun hari ini… Jutaan buku yang menyesaki lemari kaum muslimin seolah tak ada artinya. Buku-buku itu hanya dipelajari untuk meraih gelar akademik, ilmu islam berubah menjadi wawasan ditangan orang-orang yang katanya cendekiawan.

Al-Qur’an hanya dibaca pada acara-acara ceremonial. Tilawahnya diperlombakan, namun pesan-pesannya diabaikan.

Dua warna yang berbeda bukan…?

Hari ini, kita butuh lebih dari sekedar musabaqah tilawatil qur’an. Kita butuh musabaqah (perlombaan) dalam mengamalkan Al-Qur’an. Dan untuk itu, dibutuhkan tadabbur yang lebih dalam. Agar kita memahami dan mengerti pesan-pesan Al-Qur’an dengan baik, sehingga mudah mengaplikasikannya dalam kehidupan kita.

Wallahu a’lam