Allah azza wa jalla berfirman:

الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ أَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ (1) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نزلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ (2) ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ (3) }

Orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi(manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus perbuatan-perbuatan mereka. Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil, dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka. (QS: Muhammad: 1-3)

Penjelasan:
Kalimat pembuka dalam ayat ini datang tanpa menyebutkan obyek yang diingkari. Hal tersebut menunjukkan kemutlakannya. Artinya, siapapun yang mengingkari perkara yang wajib untuk diimani, baik sebagian maupun keseluruhannya termasuk dalam cakupan orang-orang yang ingkar.

Kedua, kalimat wa shaddû ‘an sabîlillâh (dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah). Kata الصد bisa bermakna berpaling dari sesuatu dan menolak dengan tegas. Bisa juga berarti mengalihkan dan menghalangi. Demikian menurut al-Asfahani. Sedangkan yang dimaksud dengan sabîlillah, menurut al-Syaukani, al-Thabari, dan para mufassir lainnya adalah agama Islam. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan al-Thabari, di samping mereka mengingkari tauhid dan menyembah selain Allah, mereka juga menghalangi orang yang ingin beribadah kepada Allah, membenarkan tauhid dan membenarkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Mereka yang menggabungkan dua sifat tersebut diancam dengan firman-Nya: “Allah menghapus perbuatan-perbuatan mereka”. Menurut al-Asfahani, kata al-dhalâl berarti al-‘udûl ‘an al-tharîq al-mustaqîm (menyimpang dari jalan yang lurus). Mereka berada di jalan Syaithan dan kebinasaan.

Maknai lain dari al-idlâl di sini sebagai al-ibthâl (membatalkan, menggagalkan). Ibnu Katsir menerangkan bahwa pengertian frasa ayat ini adalah: Dia membatalkan dan melenyapkan amal mereka, dan tidak memberikan balasan dan pahala kepada mereka atas amalan itu. Ini sebagaimana firman Allah azza wa jalla: Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan (QS: al-Furqan [25]: 23).

Demikianlah kondisi orang-orang kafir yang mendustakan ajaran nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Kemudian Allah azza wa jalla berfirman: “Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang shalih). Mereka adalah orang-orang yang mengimani semua perkara yang diwajibkan untuk diimani. Keimanan itu pun diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan, yakni dengan mengerjakan amal shalih. Dijelaskan al-Qurthubi, al-shâlihât (pada ayat ini) adalah seluruh amal yang diridhai Allah azza wa jalla. Ibnu Jarir menerangkan, “Mereka mengerjakan ketaatan kepada Allah, dan mengikuti perintah dan larangan-Nya. Dengan kata lain, mereka menjalankan syariah yang diturunkan-Nya secara keseluruhan.

Allah azza wa jalla berfirman: “serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad)”. Frasa ini merupakan ‘athf khâshsh ‘alâ ‘âmm (menambahkan yang khusus atas yang umum). Menurut al-Syaukani, penyebutan secara khusus tersebut menunjukkan mulia dan tingginya kedudukan risalah untuk Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ibnu Katsir menegaskan, “Ini menjadi dalil bahwa perkara tersebut (yakni mengimani apa yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) merupakan syarat absahnya iman setelah diutusnya beliau.

Kemudian Allah azza wa jalla berfirman: wa huwa al-haqq min Rabbihim (dan itulah yang hak dari Tuhan mereka). Ini merupakan jumlah i’tirâdhiyyah (kalimat sisipan). Menurut al-Syaukani, pengertian al-haqq di sini adalah menasakh (membatalkan berlakunya) risalah sebelumnya.

Balasan terhadap mereka disebutkan dalam firman Allah azza wa jalla selanjutnya: kaffara ‘anhum sayyi âtihim (Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka). Diterangkan al-Asfahani, pengertian al-kufr secara bahasa adalah satr al-syay` (menutupi sesuatu). Sehingga ayat ini, bermakna menutupinya dengan keimanan dan amal shalih. Artinya, melenyapkan kesalahan-kesalahan itu dan tidak menghukumnya.

Allah azza wa jalla berfirman: wa aslaha bâlahum (dan memperbaiki keadaan mereka). Kata al-bâl berarti al-hâl (keadaan). al-Alusi mengatakan, “Keadaan mereka diperbaiki di dunia dengan tawfîq dan ta`yîd (keberhasilan dan pengokohan). al-Thabari menjelaskan, “Dia (Allah) memperbaiki urusan dan keadaan mereka di dunia di hadapan para kekasih-Nya, dan di akhirat Allah berikan mereka kenikmatan abadi dan selama-lamanya di surga-Nya”.

Itulah balasan yang akan didapatkan oleh dua golongan manusia yang berbeda tersebut. Mereka menempuh jalan yang sangat kontradiksi , maka hasilnya pun bertolak belakang. Sesungguhnya nasib mereka ditentukan oleh piihan dan usaha mereka sendiri, semuanya tidak lepas dari kehendak Allah.
Hal ini ditegaskan Allah azza wa jalla dalam ayat berikutnya, “Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka (QS Muhammad [47]: 3).

Semua sudah jelas. Tinggal kita memilih jalan mana yang kita tempuh. Jalan yang menjerumuskan kepada kesengsaraan atau jalan yang mengantarkan kepada kebahagiaan.
Semoga kita tidak salah jalan.

Wallahu a’lam

Ikhtisar:

Orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dihapuskan amal merekaOrang-orang yang beriman dan beramal shalih ditutupi kesalahan dan diperbaiki keadaan mereka.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Amiin

✍🏻Ibnu Abdillah Al-Madiiny