“Dan setiap yang bukan untuk Allah, maka akan sia-sia.“⠀

Malam ini cuaca kota Zurich cukup dingin, sambil menunggu bus yang akan membawa kami ke kota Wina, saya menyortir koin-koin yang akan dikoleksi. Saya prioritaskan koin dengan tahun cetakan tertua, kebetulan dalam beberapa tahun ini saya sedang senang-senangnya mengoleksi koin-koin tua dari berbagai negara.

Tiba-tiba temen saya bertanya, “Kamu masih punya sisa koin Franc ga..? Kita habiskan di sini untuk membeli bekal perjalanan nanti, lagipula cuaca sangat dingin, kita butuh kopi.”

“Ada” jawab saya sambil menyodorkan sisa koin sortiran. “Tapi sepertinya sisa koin itu tidak cukup, koin-koin lainnya sudah saya simpan buat koleksi saya, bagaimana kalau kita pakai uang kertas saja?”

Sambil tersenyum teman saya mengatakan, “Akh, dulu saya juga punya hobi yang sama sepertimu, suka mengoleksi koin-koin seperti ini, mulai dari koin biasa hingga koin emas dan perak. Koleksi-koleksi lain juga ada.

Sampai suatu hari saya harus pindah tempat tinggal dari satu kota ke kota yang lain di Jerman. Saya perhatikan semua barang yang saya miliki, saya sortir antara barang yang saya butuhkan dengan barang yang tidak saya butuhkan, ternyata ada begitu banyak barang yang tidak saya butuhkan dan hanya menambah beban pindahan saja.

Tiba-tiba saya terpikir tentang kehidupan akhirat, bukankah semakin sedikit yang dimiliki seseorang, maka hisabnya juga akan semakin ringan..? Bukankah saya ini adalah pengembara yang sedang singgah di dunia ini dan tak lama lagi akan pindahan juga ke negeri akhirat?

Saat safar seperti ini, bukankah semakin ringan isi ranselmu, maka beban yang kamu panggul juga semakin ringan dan perjalananmu akan semakin menyenangkan? Bukankah kita ini juga musafir di dunia ini?

Saya juga berpikir bahwa mengoleksi koin-koin seperti itu sama dengan menimbun-nimbun harta yang ujung-ujungnya membangkitkan rasa cinta terhadap dunia.
Lagipula apa manfaatnya? Bukankah apa yang kita belanjakan untuk diri sendiri dan di jalan Allah itulah yang benar-benar milik kita?

Benar, ada haditsnya itu, “
Anak Adam ada yang berkata: “hartaku-hartaku”!! Padahal bukankah bagianmu dari hartamu hanyalah apa yang engkau makan lalu habis, apa yang yang engkau pakai lalu usang, atau apa yang telah engkau sadaqahkan, sehingga engkau mendapatkan pahalanya?” ( Ahmad)

Tiba-tiba dia menimpali, “Bukankah setiap yang bukan untuk Allah maka akan sia-sia? ya?” Ada ayatnya kan.?⠀

“Ada, bahkan hadits yang semakna dengan ucapan kamu juga ada” jawab saya dengan sedikit gemetar.⠀

Sejenak semua menjadi hening, lalu dia kembali bertanya, “Akh, bagaimana bunyi ayat yang mencela perbuatan menimbun harta tanpa diinfakkan dijalan Allah..?”, tanyanya lagi.

“Mungkin yang kamu maksud adalah firman Allah, (Saya lalau membaca dari surat attaubah ayat: 34-35) yang artinya,

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

(Qs: At-Taubah 34-35).”

Ya benar, ayat itu yang saya maksud, pungkasnya lagi.

Angin malam tiba-tiba menerpa wajah saya,saya mencoba membendung air mata, tapi sepertinya “tamparan” demi “tamparan” kali ini benar-benar keras. Tak terasa air mata saya berlinang.

Astagfirullah..

Alhamdulillah atas nikmat rofiq (teman safar) yang soleh. Nahsibuhu kadzalik, wala nuzakki allallahi ahadan.

Kita lalu membeli bekal di stasiun kereta yang tak jauh dari terminal bus kota Zurich. Beberapa saat kemudian Buspun datang dan kita kembali melanjutkan perjalanan ke kota Wina. Sepanjang perjalanan, pertanyaan demi pertanyaan teman saya hari ini terus menggelayuti pikiran saya. Saya putuskan, mulai hari ini saya tidak akan pernah mengoleksi koin dari berbagai negara lagi.

Aku & Diaryku, Zurich 18 Oktober 2017
Aan Candra Thalib