Syaikh Abbas Batawi -rahimahullah- adalah petugas penyelenggara jenazah terkenal di KSA. Selama 25 tahun dari sisa usianya dihabiskan untuk mengurusi jenazah kaum muslimin di kota Jeddah.

Dalam sebuah wawancara yang disiarkan stasiun TV Al-Wathan beliau mengisahkan:

“Suatu hari, seperti biasanya aku sedang menyiapkan daftar wafat harian. Tiba-tiba rekan kerjaku memanggilku, “Wahai syaikh, kita kedatangan jenazah”.
“Baiklah, masukkan keruang pemandian. Aku akan ganti baju terlebih dahulu, setelah itu aku akan menyusul kalian.”
Begitu aku masuk keruang pemandian, kudapati seorang pemuda meminta agar semua orang keluar dari tempat pemandian, tak terkecuali orang tua dan saudara si mayit.
Kalau saja aku tidak memakai baju kerja pasti dia juga sudah mengusirku.

Aku katakan padanya, “Baiklah, aku butuh satu atau dua orang untuk membantuku memandikan jasad ini”. Dengan cepat pemuda itu menjawab, “Biarkan aku sendiri yang akan membantumu”
Ketika aku mulai membuka wajah si mayit dan menanggalkan pakainnya satu-persatu, tiba-tiba pemuda itu menangis histeris. Aku lantas menegurnya. Aku katakan padanya,
“Bila engkau tidak sanggup menahan tangis, maka tunggulah di luar, biar orang lain yang membantuku.”
“Tidak wahai syaikh.. Biarkan aku sendiri” jawabnya.

Saat aku menanggalkan pakaian terakhirnya dan mulai menekan perut si mayit untuk mengeluarkan sisa air dan kotoran, tiba-tiba ia menangis sejadi-jadinya.

“Sudah… Kamu keluar saja.” Kataku.
Pemuda itu menimpali, “Tidak.. Biarkan aku sendiri”
Baiklah.. Kalau kau terus begini maka si mayit akan tersiksa dengan tangisanmu.

Selang beberapa lama, rasa penasaran membuatku bertanya: Apakah engkau kerabatnya.?
Pemuda itu menjawab, “Aku adalah saudaranya, bapaknya sekaligus ibunya”.

Aku bertanya lagi, kalau begitu kamu bukan saudaranya..?
Kamu mengusir semua orang padahal kamu bukan siapa-siapa baginya..?
Pemuda itu menjawab, “Aku lebih dari saudara, ibu dan bapaknya”.
Aku semakin merasa aneh. Baiklah aku akan memandikannya terlebih dahulu.

Setelah proses memandikan selesai, pemuda itu motong kapas dan mengambilkan segala keperluan pengafanan untukku. Aku sempatkan untuk bertanya kepadanya, mengapa ia bisa menangis sekeras itu, padahal ia bukan siapa-siapa bagi si mayit.?”

Pemuda itu menjawab, “Wahai syaikh… Apakah engkau pernah mendengar kisah persaudaraan seperti ini..?

“Dahulu, kami belajar di bangku SD bersama-sama. Di jenjang SMP dan SMA pun kami jalani bersama-sama. Kami lulus dari tempat kuliah yang sama dan bekerja ditempat yang sama. Bahkan qadarullah kami menikahi dua wanita yang bersaudara.
Masing-masing di antara kami dikaruniai putra dan putri. Kamipun tinggal di apartemen yang saling berhadapan.
Setiap ke masjid kami selalu bersama. Kemana-mana selalu bersama.
Demi Allah… Aku bertanya padamu, apakah disepanjang usiamu, engkau pernah mengetahui ada persaudaraan seperti ini.?
“Tidak.. Aku hanya bertemu dengan saudara-saudaraku pada moment-moment tertentu saja.” jawabku.

Ya sudah, sekarang semuanya selesai. Masuklah ke dalam masjid dan perbanyaklah berdo’a untuk saudaramu.

Di KSA pemakaman dibagi dalam beberapa deretan yang kami sebut Syarsurah. Dalam satu deretan terdapat kurang lebih 30 makam yang sudah siap digunakan. Semuanya bernomor. Setelah jenazahanya disholatkan, kami memakamkannya di Syarsyurah nomor.7, makam nomor 10.

Keesokan harinya, saat aku mempersiapkan daftar wafat harian. Aku kedatangan jenazah lagi, aku langsung masuk ke tempat pemandian. Saat itu ayah si mayat turut hadir.
Saat kubuka wajahnya, akupun berguman, “Sepertinya aku mengenal wajah ini”. Aku katakan pada ayahnya, " Sepertinya pemuda ini tidak asing bagiku.”

Tiba-tiba sang ayah menangis. “Wahai Syaikh.. Orang inilah yang kemarin membantumu mengurusi jenazah sahabatnya. Dialah yang membantu mengguntingkan kapas dan kafan untukmu.

Sontak aku terdiam.
Kemarin dia membantuku mengurusi jenazah sahabatnya, dan kini aku sedang memandikannya.
Selama memandikan jasadnya, air mataku terus mengalir membasahi jasadnya.

Aku terpikirkan betapa kematian datang tak mengenal waktu.

Aku bertanya pada ayahnya.
Bagaimana ia bisa meninggal dunia..?
Bagaimana kisahnya..?
Wahai Syaikh..
Sekembalinya dari pemakaman, tepatnya selepas menunaikan sholat dzuhur, ia meminta kepada istrinya untuk tidak membangunkannya makan siang. Ia minta supaya diingatkan bahwa selepas ashar nanti akan mempersiapkan segala keperluan takziah untuk sahabatnya. Beberapa jam kemudian, istrinya mendapatinya sedang terbaring bertumpu pada lengan kanannya dalam keadaan tidak bernafas. Ia meninggal karena kesedihan yang mendalam atas kepergian sahabatnya.

Setelah jenazahanya diselenggarakan, iapun dimakamkan di Syarsyurah nomor. 7 di makam nomor.11 tepat di samping sahabatnya. Hanya dinding yang memisahkan meraka berdua.
Masyaallah…
Mereka hidup bersama dan matipun bersama, semoga mereka dikumpulkan bersama di dalam surga.”

(Diterjemahkan dengan sedikit penyelarasan bahasa)

Catatan:

Dalam sebuah hadits, Jibril pernah berwasiat kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- “Cintailah siapa yang engkau cintai, pasti engkau akan berpisah dengannya”.

Mungkin saja dua pemuda dalam kisah di atas pernah berdo’a agar tidak dipisahkan di dunia dan akhirat. Sehingga perpisahan mereka di dunia hanya berlangsung beberapa jam saja. Mahabbah fillah (cinta karena Allah) telah menyatukan mereka di dunia. Semoga kelak mereka akan disatukan di akhirat.

Kitapun berharap agar Allah mengumpulkan kita bersama orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita karena Allah.

“Engkau akan bersama orang yang engkau cintai”. Begitulah sabda Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-

Dalam munajatnya, nabi Daud -alaihissalam- pernah berdo’a:

Ya Allah…
Sesungguhnya aku memohon cinta-Mu
Dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu
Akupun memohon kepada-Mu perbuatan yang dapat mendekatkan aku kepada cinta-Mu.
(HR. Tirmidzi)

Kini… Munajat yang sama kupanjatkan pada-Mu ya Rabb.

Amiin..


Madinah 24-01-1437 H
ACT El-Gharantaly