Kali ini bukan kisah tentang senja, tapi tentang seorang kawan yang telah menemukan cintanya. Bukan cinta kepada manusia, tapi cinta kepada Firman Sang Khalik.
Iya, ini tentang teman perjalanan saya mengelilingi Eropa. Dia adalah mahasiswa jurusan Farmasi di Marten Luther University Halle Wittenberg Jerman, sudah 7 tahun ia tinggal di negara yang menjadi jantung Eropa itu, namun baru kali ini ia melakukan perjalanan mengelilingi Eropa. Bermodalkan kemampuan bahasa Inggris dan Jermannya yang fasih, kami putuskan merampungkan jadwal yang sudah disusun sebelumnya. Sepanjang perjalanan ia sibuk dengan mushafnya. Terkadang membaca, terkadang menghafal dan terkadang murojaah. Ia terlihat merdeka bersama mushafnya itu, baik ditempat sepi maupun ditengah keramaian.
Di terminal sentral Munchen, seorang laki-laki berkebangsaan Saudi menghampiri kami dan memberi salam, “Masyaallah aku perhatikan daritadi kamu sibuk dengan mushafmu, padahal ditengah keramaian seperti ini. Aku saudara kalian dari KSA. Aku seperti tidak percaya bisa melihat pemandangan yang begitu menyejukkan ditempat seperti ini, di mana saafiroot (wanita yang tabarruj) ada di mana-mana”. Begitulah, kapan ada waktu luang, ia selalu sibuk dengan mushafnya.
Disaat raga begitu letih karena perjalanan yang tak kenal henti, ia masih sempat bangun di kegelapan malam untuk tahajjud. Padahal cuaca sangat dingin, dan kesempatan istirahat sangat sedikit. Bagi saya yang gampang sekali letih, bertemu selimut dan kasur sepertinya menjadi sesuatu yang sangat dinanti.
Selama perjalanan kami lebih banyak menggunakan bus dan kereta, saya sibuk mencatat perjalanan, dia terlihat asyik dengan mushafnya. Memang, membaca Al-Qur’an di atas tunggangan adalah sunnah, bahkan imam Bukhori memberikan bab tersendiri mengenai hal ini, yaitu “Bab Membaca (Al-Qur’an) di atas Tunggangan”. Kali Ini saya kembali belajar, bahwa antara kita & Kalam Allah bukan soal tak punya waktu, tapi soal cinta yang telah merasuk kerelung jiwa. Kawan saya Ibrahim El-Haq pernah mengatakan, “Kita dan Al-Qur’an itu hanya dua kemungkinan, Al-Qur’an menghalangi kita dari maksiat, atau maksiat menghalangi kita dari Al-Qur’an.
Diri yang lalai inipun harus mengaku malu, malu karena maksiat telah menghalanginya dari Al-Qur’an.
Allahul mustaan..
Semoga kita diberi taufik untuk membaca, menghafal dan mengamalkan firman-Nya.
Zürich Schweiz, 17 Oktober 2017
Aan Chandra Thalib