Kisah di bawah ini adalah jawabannya.

Sejarah mencatat bahwa dahulu hiduplah seorang ulama besar yang dikaruniai kecerdasan. Namanya Abul Hasan Ahmad bin Yahya bin Ishaq Ar-Rawandi. Para Ulama mengatakan; pada awalnya Abul Hasan adalah lelaki yang shalih, manhajnya lurus, dan ilmunya luas.

Tidak terfikirkan olehnya jika suatu saat dia akan menjadi seorang yang zindik/sesat dan mulhid/atheis, karena ia adalah orang yang cerdas dan giat menuntut ilmu.

Dari kampung halamannya yang terletak dipinggiran Asfahan ia pergi menuju Baghdad dan tinggal di sana. Di pusat kekuasaan dan peradaban Irak yang melegenda itu, Abul Hasan bekerja sebagai penyalin buku. Zaman yang belum mengenal penggandaan menggunakan mesin cetak, memberinya pekerjaan yang berkelas. Sekaligus membuatnya bergelut dengan berbagai karya. Pengetahuan barunya semakin beragam, tetapi tidak semakin dalam. Sebab perlahan ia mulai mendalami hal-hal yang semakin membuatnya jauh dari kefahaman.

Rayuan Syaithan membuatnya tidak puas dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, diapun terus mencari ilmu-ilmu baru yang semakin menjauhkannya dari Allah.

Dia menjelma menjadi tokoh berpengaruh dalam firqah Mu’tazilah, kemudian dia menulis kitab “Fadhihah Al-Mu’tazilah” sebagai tanda bahwa ia berlepas diri dari madzhab Mu’tazilah, ia berpindah menjadi seorang yang terpengaruh dengan Tasyayyu’ -pemahaman Syi’ah- dengan melahirkan kitab “al-Imaamah”, lalu dia meninggalkan Tasyayyu’ dan Islam, setelah itu ia menjadi seorang yang mulhid -atheis/sesat- dan zindiq.

Dia mewariskan kitab-kitab sesat seperti “Na’tul Hikmah”, “Qadiibudz Dzahab”, “az-Zumurrudah”, “ad-Daamigh” serta menulis pula kitab yang membantu orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam mengingkari Nubuwwah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia juga menulis kritik terhadap bahasa Al-Qur’an.

Dalam sebagian karyanya, ia dengan berani mengkritik kenapa Malaikat tidak diturunkan pada perang Uhud, dan bahwa ajaran Islam itu bertentangan dengan akal. Ia mengatakan bahwa manusia tidak memerlukan Rasul, karena akan menjadi penghilang keaslian interaksi manusia dengan dimensi transendensi. Itu baru sebagian dari masih banyak lagi pikiran aneh lainnya.

Abul Hasan meninggalkan seratus empat belas buku, semuanya dengan argumentasi yang rumit dalam mengkritik dan memburamkan ajaran-ajaran baku dalam Islam. Bagi Ibnu Taimiyah, Ar-Rawandi itu “Dzakiyyun ghairu Zakiyyin”, Cerdas tetapi tidak bersih.

Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata tentangnya:

زنادقة الإسلام ثلاثة: ابن الراوندي، وأبو حيان التوحيدي، وأبو العلاء المعري

“Tokoh zindiq dalam Islam ada tiga; 1). Ibnu Rawandi,
2). Abu Hayyan at-Tauhidi,
3). Abul ‘Ala al-Mu’ari.”

Adz-Dzahabi dalam As-Siyarnya menyebutkan:

ابن الراوندي الملحد، عدو الدين

“Ibnu Rawandi seorang mulhid dan musuh agama”.

Ibnu Rawandi pernah berkata dengan sengaja untuk menyelisihi Fuqaha Islam:

اختلف الفقهاء في الغناء هل هو حرام أو حلال؟ وأنا أقول إنه واجب

“Para fuqaha berselisih tentang nyanyian apakah nyanyian itu haram atau halal, namun aku katakan bahwasanya nyanyian itu wajib.”

Sebenarnya ketika ia mulai bergaul dengan orang-orang mulhid/atheis, maka sebagian ulam menasehatinya, namun ia menjawab:

إنما أريد أعرف مذاهبهم

“Aku hanya sekedar ingin tahu pemikiran mereka.”

Namun hasilnya wal Iyaadzu billah..

Oleh karena itu, kami menghimbau kepada kawan-kawan penuntut ilmu untuk menjauh dari syubhat. Keselamatan agama adalah hal yang utama.
Sibukkan diri dengan memperkokoh Aqidah dan pondasi keilmuan.
Jangan lupa bersyukur karena anda berada di atas sunnah, dan perbanyaklah membaca do’a;

يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.”

(HR.Tirmidzi 3522, Ahmad 12131)

Wallahu a’lam

Disadur dari berbagai sumber

✍Ibnu Abdillah Al-Madiiny