Orang-orang baik pasti akan dipertemukan dengan orang-orang baik pula.


Di Madinah orang-orang Anshar setiap hari keluar di bawah terik matahari ke pintu gerbang kota menanti kedatangan Rasulullah. Mereka terus menantinya, hingga apabila matahari telah terbenam, mereka kembali untuk menantikannya di esok hari.

Akhirnya pada Senin 12 Rabi’ul awwal, setelah menempuh perjalanan panjang yang cukup melelahkan kafilah nabi tiba di Kuba dan bertolak ke Madinah pada hari Jumat. Di tempat antara Kuba dan Madinah beliau melaksanakan sholat Jumat untuk pertama kalinya.

Usai mendirikan sholat beliau memasuki Madinah. Disana ia disambut dengan sangat meriah. Orang-orang yang sudah berhari-hari menunggunya berebut tali kekang tunggangannya agar beliau mau tinggal di rumah mereka.

“Biarkan tungganganku berjalan, dia dalam perintah Tuhannya.” Ucap nabi kepada mereka. Tunggangan itu akhirnya berhenti di tanah kosong milik dua anak Yatim, tepat di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari.

“Disinilah tempatnya insya Allah.“ Maksudnya di sinilah masjidku akan dibangun. Nabi langsung membeli tanah itu. Seolah tak ingin melewatkan kesempatan Abu Ayyub segera membawa kendaraan Nabi ke rumahnya, dan meminta Nabi tinggal bersama mereka.

Untuk beberapa lama ia tinggal di lantai dua rumah milik Abu Ayub al-Anshary hingga pembangunan masjid rampung. Setelah pengunan masjidnya usai ia membuat bilik kecil di sisi kiri masjid sebagai tempat tinggalnya.

Ya hanya sebuah bilik kecil, bukan rumah. Yang mana bila beliau tidur, kaki dan kepalanya hampir menyentuh dua dinding yang berhadapan. Bila beliau berdiri tangannya dapat meraih atap biliknya itu. Hingga sang nabi wafat beliau tak benar-benar memiliki rumah.

Di dalam bilik kecil itu hikmat dan firman dibacakan. Kedermawanan mengalir mengetuk setiap rumah si fakir dan si papah. Semua yang dimilikinya habis untuk pelayanan. Tidak ada yang ia wariskan kecuali ilmu yang menerangi dunia dan akhirat para pengikutnya.

Pilihan hidup sang nabi seolah memberi pesan bagi siapapun yang ingin menempuh jalannya agar menjadikan
Agama sebagai sarana pelayanan. Para da’i adalah pelayan ummat, mereka harus mengakhirkan hasrat individu demi terlaksananya pelayanan yang paripurna.

Allahumma sholli ala Muhammad

Bersambung..