Perubahan menuju masyarakat baru hendaknya melibatkan semua pihak. Tak boleh ada dikotomi, setiap orang mengambil peran menurut keahliannya masing-masing.
Ada yang menarik dalam potongan siroh kali ini.
Pertama: Nabi memilih menempuh rute yang tidak biasa. Mengapa? alasannya sederhana saja, itu adalah siasat beliau untuk mengelabui orang-orang Quraisy.
Kedua: Untuk menyusuri rute yang tidak biasa itu nabi menggunakan jasa Khirrit (navigator) yang profesional. Pilihannya jatuh pada Abdullah bin Uraiqith, seorang navigator yang sangat menguasai rute-rute perjalanan yang tidak biasa dilalui Kafilah dagang dan para pemburu.
Abdullah bin Uraiqith sendiri bukanlah seorang Muslim. Selain ditugaskan sebagai navigator, Ia ditugaskan untuk membawa tunggangan yang telah dibeli oleh Abu Bakar mendekat ke Gua Tsur.
Pemilihan Ibnu Uraiqith bukanlah suatu kebetulan. Nabi seolah memberi Isyarat kepada ummatnya untuk mendahulukan skill dan profesionalitas dalam hal-hal duniawi ketimbang kesamaan keyakinan.
Nabi juga seolah memberi isyarat bila sebuah bangsa ingin hijrah menuju tatanan masyarakat yang lebih baik maka semua pihak harus dilibatkan.
Dari sosok Ibnu Uraiqith kita belajar tentang al-wafaa (kesetiaan pada janji yang telah disepakati) dan profesionalitas.
Walau tidak seakidah dengan nabi, namun sama sekali tak terlintas dipikirannya untuk menyerahkan Muhammad kepada kaumnya. Apalagi saat itu pembesar Makkah sedang melakukan sayembara dengan hadiah 100 ekor unta, sebuah angka yang barangkali jauh lebih besar dari apa yang dibayarkan Rasul kepadanya.
Akhlak wafa’ inilah yang kian langkah saat ini. Akhlak yang menumbuhkan rasa saling percaya tanpa mempersoalkan kepercayaan agama. Hendaklah ini menjadi cerminan bagi kita yang hidup dalam masyarakat yang heterogen.
Malampun tiba, kafilah nabi meninggalkan Gua Tsur menuju Madinah..
Bersambung…