Abdullah bin Wahb -rahimahullah- berkata:
جعلت على أن أصوم يوما إن اغتبت أحدا فهان علي الصوم فجعلت على نفسي درهم صدقة فأمسكت .
Aku pernah mengharuskan puasa sehari pada diriku bila aku menggunjing orang lain. Hanya saja puasa menjadi sesuatu yang mudah bagiku.
Lalu akupun mensyaratkan pada diriku agar bersedekah dengan sekeping dirham (setiap kali menggunjing orang lain). Akhirnya akupun benar-benar berhenti (dari ghibah).
(Siyarus Salaf: 1134)
Imam Bukhori pernah mengatakan,
قال البخاري: ما اغتبت أحدا قط منذ علمت أن الغيبة حرام، إني لأرجو أن ألقى الله ولا يحاسبني أني اغتبت أحدا.
“Aku tak pernah menggibahi seorangpun sejak aku tahu bahwa ghibah itu haram. Sungguh aku berharap agar saat bertemu Allah nanti Dia tidak menghisabku karena aku pernah mengghibahi orang lain”
(Thabaqaat As Subki: 9/20)
Catatan:
Kedua atsar di atas patut dijadikan bahan renungan, terutama dizaman ini, di mana ghibah telah berubah menjadi bumbu wajib dalam majelis. Bahkan sebagian orang menjadikannya sebagai profesi dan tontonan yang mengasikkan.
Ingat..!
Pelaku ghibah dan orang yang ikut duduk di majelis ghibah, atau menyaksikan tayangan ghibah melalui media televisi sama dalam pandangan syariat, kecuali bila dia mengingkarinya.
Terkadang dalam satu majelis sebagian orang tidak ikut menggibahi orang lain, namun dia ikut tertawa, tersenyum dan sikap lainnya yang memperlihatkan sikap ridha terhadap perbuatan tersebut, maka diapun mendapat hukuman yang sama.
Bila suasana majelis anda telah berubah menjadi majelis ghibah, maka rubalah dengan lisan, bila tidak maka berdirilah dan tinggalkan majelis tersebut, karena yang turut hadir dalam majelis anda saat itu bukan hanya manusia saja.
Az-Zuhri mengatakan,
إذا طال المجلس كان للشيطان فيه نصيب
“Bila waktu bermajelis mulai panjang, maka syaithan punya bagian dalam majelis tersebut” (Al-Hilyah)
Sekian.
Wallahu a’lam
Madinah 3 Shafar 1436 H
ACT El Gharantaly