Di sebuah negeri entah berantah, istilah-istilah baru hasil polarisasi politik seolah tak pernah habis. Dulu Kampret dan Cebong, sekarang Kadrun dan Togog

Saya pun mencari tahu satu persatu arti dari istilah-istilah itu. Cebong dan Kampret sudah kita ketahui bersama, lalu apa yang dimaksud dengan Kadrun dan Togog?

Ternyata di negeri entah berantah itu, Kadrun adalah istilah yang awalnya dialamatkan kepada pendukung salah satu paslon capres dan cawapres yang gemar turun ke jalan. Namun belakangan istilah tersebut mulai dialamatkan kepada orang-orang berjenggot, cingkrangan dan cadaran. Lebih spesifik lagi kepada keturunan Arab atau yang berpakaian dan hidup kearab-araban.

Katanya mereka tidak cocok tinggal di bumi ripah loh jinawi yang berbudaya Adiluhung itu. “Ini negara anu bung, pulang ke Arab sana”. Kalimat-kalimat seperti itu berseliweran di kolom-kolom komentar sosmed.

Sedangkan Togog adalah nama dari tokoh perwayangan yang konon identik dengan sifat jahat. Dia tercitrakan jahat karena berada di tengah orang-orang jahat. Ia juga sering diumpamakan sebagai seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti-ganti majikan.

Konon lagi, Togog selalu berusaha menyadarkan majikannya agar jangan tergelincir dalam dosa dan perbuatan buruk. Namun biasanya nasihat itu tidak pernah di dengar. Jika nasihatnya tidak juga didengar, Togog akan menjerumuskan si majikan itu dengan berbagai pujian dan sanjungan (Rupa & Karakter Wayang Purwa, hal: 1099)

Itulah sekilas yang saya tau tentang Togog. Mohon dikoreksi bila keliru, karena jujur bacaan saya tentang pewayangan masih sangat minim.

Terkait dua istilah itu saya tidak akan mengomentarinya dari sisi politik, karena sampai saat ini saya masih mengimani bahwa politik di negeri entah berantah itu ujung-ujungnya soal kepentingan elit saja. “Tuhan” para elit di negeri itu adalah uang dan kekuasaan. Tak heran bila perbedaan di antara mereka tak melulu karena faktor ideologis. Jadi, saya pilih absen saja.

Namun sebagai seorang Muslim, saya hanya ingin mengajak teman-teman seiman dan seakidah untuk menyudahi panggilan-panggilan yang kurang baik tersebut. Walau saya tidak memungkiri bahwa “us” versus “them” tidak akan usai di alam Demokrasi manapun.

Namun, sebagai sebuah bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, dan juga sebagai seorang Muslim, maka kembali pada panduan wahyu adalah suatu keniscayaan. Karena itu marilah kita mengingat firman Allah azza wa jalla yang artinya;

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.Al-Hujurat:11)

Saya yakin, ayat ini sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Kitapun masih ingat sabda sang Nabi yang artinya; “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.

Tuhan bahkan menetapkan hukum yang berat bagi para pencela. “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. al-Humazah: 1).

Sang Nabi juga bersabda, “Berkatalah yang baik atau kalau tidak bisa, sebaiknya diam.”. Atau sabdanya;

‎إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat.”

Atau sabdanya:

‎لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin itu bukan seorang yang suka mencela, melaknat, yang keji, dan bukan pula yang kotor mulutnya”.

Saudaraku.. Kita bukan orang yang tidak tau dengan ayat-ayat atau sabda-sabda di atas. Tapi mungkin sebagian kita sedang “mabuk” politik hingga lupa bagaimana caranya bermanusia.

Bagi yang suka ngatain orang Kadrun, mendekatlah sejenak. Bila yang anda maksudkan itu kesan keterbelakangan, maka sebaiknya tuan-tuan membaca kembali sejarah Bangsa Arab. Arab pasca Islam adalah bangsa yang rakus terhadap ilmu pengetahuan.

Para pengikut sang Nabi tidak hanya berhasil memadamkan kegelapan hati umat manusia, tapi juga kegelapan di alam pikir segenap bangsa.

Bahkan “anak-anak gurun” yang tuan hina, mereka telah menjadi bagian dari perjuangan dan perlawanan bangsa tuan-tuan di negeri entah berantah itu melawan penjajahan. Mereka telah melebur sebagai sebuah bangsa, bangsa yang tuan jaga dan tuan cintai.

Adapun mereka yang berupaya menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, apakah mereka pernah mengusik hidup tuan-tuan? Bukankah dalam ideologi yang tuan-tuan perjuangkan itu diajarkan jaminan terhadap hak-hak individu?
Tuan jangan merobohkan rumah bila jidat tuan kejedot pintu.

Bagi yang suka ngatain orang lain Kampret, kembalilah pada paragraf ke sepuluh hingga ke tujuh belas.

Wallahu a’lam.

Brawijaya 02 Februari 2020
@act_elgharantaly