Beberapa hari ini kami mendapat pertanyaan seputar nukilan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah –rahimahullah–. Nukilan itu berbunyi:
حاكم كافر عادل خير عند الله من حاكم مسلم ظالم
“Pemimpin kafir yang berlaku adil lebih baik di sisi Allah ketimbang pemimpin muslim yang dzalim”.
Apakah benar nukilan di atas merupakan pernyataan Ibnu Taimiyah?
Apakah Ibnu Taimiyah membolehkan orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum muslimin dengan syarat dapat berlaku adil?
Jawabannya tentu tidak benar, kalimat di atas sudah mengalami tahrif (perubahan). Memang benar Ibnu Taimiyah pernah mengatakan bahwa, "
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً ”
“Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan, sementara balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan negara yang zalim sekalipun beriman”
Akan tetapi perlu diketahui bahwa pernyataan Syaikhul Islam di atas tidak bisa difahami sepotong-sepotong. Ucapan beliau harus difahami secara utuh, hal ini telah kami jelaskan pada tulisan kami sebelumnya yang membahas seputar hal-hal yang harus diperhatikan pembaca sebelum membaca karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bila kita membaca pernyataan beliau secara utuh di dalam risalah Al Hisbah, sama sekali tidak ada indikasi bahwa Syaikhul Islam merestui kepemimpinan orang kafir sekalipun dia adil. Karena hal ini merupakan masaalah pokok yang sudah difahami dalam islam, di mana agama kita secara tegas menolak kepemimpinan orang kafir terhadap orang islam. Dan Syaikhul Islam merupakan ulama yang dikenal tegas dalam masalah ini.
Pernyataan beliau didalam risalah Al Hisbah adalah penjelasan tentang pentingnya keadilan serta bahayanya kedzaliman terhadap eksistensi sebuah bangsa. Karena dalam urusan dunia Allah tidak pilih kasih. Dia memberi rahmat kepada seluruh makhluk, baik kepada orang mukmin maupun orang kafir bila ia telah melakukan ikhtiar. Akan tetapi orang mukmin akan mendapakan balasan terhadap kebaikannya di dunia dan di akhirat, sementara orang kafir hanya akan mendapatkan balasan kebaikannya di dunia saja. Jadi pertolongan Allah kepada orang-orang kafir semata-mata nikmat dunia yang disegerakan kepada mereka, tanpa menyisahkan nikmat tersebut untuk kehidupan akhirat mereka.
Hal ini semakna dengan sabda Rasulullahshallallahu alaihi wasallam,
إن الله لا يظلم مؤمنا حسنة، يعطى بها في الدنيا، ويجزى بها في الآخرة، وأما الكافر فيطعم بحسنات ما عمل بها لله في الدنيا، حتى إذا أفضى إلى الآخرة لم تكن له حسنة يجزى بها. رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi seorang mukmin yang berbuat baik. Di dunia dia akan mendapatkan balasan dan di akhirat ia akan mendapatkan pahala. Sementara itu, orang kafir (yang berbuat baik) akan diberi kebaikan oleh Allah di dunia, sementara di akhirat ia tidak akan mendapatkan pahala”. (HR. Muslim)
Jadi tidak ada yang salah dari pernyataan Ibnu Taimiyah. Tafsirannya saja yang keliru, karena berangkat dari redaksi yang sudah mengalami perubahan.
Catatan:
-
Dalam pernyataannya tersebut Syaikhul Islam seolah mengisyaratkan bahwa kebinasaan merupakan akhir dari sebuah kedzaliman, itulah sunnatullah yang berlaku.
-
Keadilan dan kezaliman pasti akan berbalas, walau untuk waktu yang lama. Hal ini berlaku bahkan di negara yang tidak megenal tuhan sekalipun. Karena Allah tidak akan menzalimi siapapun di antara makhluk-Nya. Maha besar Allah dengan segala Keadilan-Nya.
-
Sebuah negara hanya akan meraih kejayaannya bila pemimpinnya adil. Sementara keadilan yang hakiki hanya bisa diwujudkan bila syariat Allah ditegakkan sebagai dustur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Tidak ada keadilan hakiki diluar Islam. Islam tidak pernah merasa aman selama dipimpin orang kafir. Sebaliknya islam selalu memberi rasa aman pada semua orang bila berkuasa. sejarah telah membuktikan itu.
Ataukah sejarah harus berulang untuk membuktikan semua itu?
Semoga Allah menjaga bumi pertiwi dari berbagai makar dan tipu daya.
Wallahu a’lam
Antara Jeddah dan Madinah
22 Muharram 1436 H
ACT El-Gharantaly